Catatan Perjalanan
Memahami Pluralisme Budaya Melalui Seni Pertunjukan di Kepri
Tanggal 6 Jnui 2003
Dari Cibiru menuju Stasiun Hall Bandung pukul 5.00. Cari kereta bisnis, tapi tidak ada. Hanya ada tiket untuk eksekutif (Argo Gede) seharga Rp. 70.000,- Dengan sangat berat tiket mahal itu aku beli, karena takut kesiangan sampai ke Jakarta.
Di Gambir tiba pukul 10. 15. Langsung naik DAMRI menuju Bandara Soekarno-Hatta. Tiba di Bandara gelisah menunggu Pak Sutamat. Kartu namanya tertinggal di rumah. Menelpon Eko tanya telepon Antropologi. Terus telepon Tina untuk tanya nomor HP Ibu Ninuk. Tak ada yang menjawab meskipun HP ibu Ninuk aktif. Pak Sutamat belum juga datang. Minta tolong bagian informasi menghubungi Pak Tamat, kalau-kalau dia sudah ada di Bandara, bahwa aku telah datang dan sedang menunggu di bagian informasi. Tapi tak ada. Tiket pesawatku ada di Pak Sutamat. Mungkin belum datang. Ditunggu di pintu masuk. Tiba-tiba seseorang mencolek pundakku. Ternyata Pak Tamat. Ah, hampir saja aku teriak. Setelah basa-basi sebentar, lalu mencari tempat duduk. Pak Tamat memberikan tiket. Cari makan. Duduk di kape. Pak Tamat makan, aku minum kopi+telor asin. Kemudian menuju ruang tinggu. Wajahku mencurigakan. Diperiksa pakai alat detector. Aku ketawa saja. Di ruang tunggu beberapa saat bengong. Akhirnya ada panggilan bahwa pesawat akan berangkat. Aku naik Pesawat Lion Air Boeing MD 82.
Tiba pukul 14.40 di Bandara Hang Nadim Batam. Naik taksi menuju penginapan Tanjung. Dapat kamar nomor 302. Harganya Rp. 70.000 + 10 % pajak, dua tempat tidur. AC kamar habis freonnya. Agak panas. Mengobrol sebentar tentang kondisi kesenian di Batam dalam perspektif Pak Tamat.
Setelah tidur sesaat, kira-kira setengah jam, aku mandi. Pak Tamat telah selesai mandi terlebih dulu. Ia menelpon orang akan diwawancarai. Tapi katanya orang tersebut tak bias ditemui, sebab ada tamu dari Singapura. Selesai mandi, jalan-jalan di pusat perkotaan Batam. Batam tampak kumuh. Sampah di mana-mana. Jalan semrawut. Bukit-bukit satu-dua masih menyisakan hijau. Mengapa Habibie dulu tak merancang Taman Kota? Jalan-jalan sudah banyak yang rusak. “Dulu sangat ramai”, kata Pak Tamat menjelaskan. Banyak yang datang dari Malaysia atau Singapura untuk weekend. Mungkin karena SARS atau politik Indonesia, kini Batam sepi.
Pak Tamat mengajak ke toko elektronik. Harganya lebih mahal dibandingkan Bandung apalagi Glodok. Kemudian cari makan. Ingin cicipi sop ikan, tapi tak ada. Aku hampir tak kuat menahan lapar. Ya, sudah saja makan ikan bakar di pinggir jalan. Mahal. Berdua harganya Rp. 40.4500. Padahal yang dimakan hanya ikan bakar dan nasi putih. Pulang. Sebelumnya Pak Tamat membeli buku di Gramedia, lengkeng. kopi susu untukku dan kratingdaeng.
Oya, tadi waktu pulang Pak Tamat cerita tentang Batam yang plural. Menurutnya, tak ada lagi kesenian sebagai identitas propinsi di Kepulauan Riau, khususnya di Batam. Tapi menurutku, biasanya dalam masyarakat yang plural identitas propinsi itu diambil dari “suku asli” kota bersangkutan. Misalnya Jakarta, meskipun ia plural dan masyarakat Betawi bukanlah suku yang dominan, tapi kebudayaan Betawi-lah yang dijadikan sebagai tanda dari propinsi bersangkutan. Tampaknya Batam pun demikian. Aku melihat nama-nama tempat dan jalan di sini umumnya memakai nama lokal. Siapa tahu itu adalah pertanda bahwa identitas propinsi/kota diambil dari “pribumi”. Memang masih perlu dibuktikan.
Tanggal 7 Juni 2003
Bangun tidur pukul 4.30. Pak Tamat menyusun agenda untuk hari ini. Aku minum kopi sambil nonton berita, setelah itu membolak-balik buku tentang Riau yang baru dibeli oleh pak Tamat kemarin malam. Mandi. Beres-beres barang. Cari sarapan. Makan di restoran Padang. Beli koran Batam Pos. Baca sambil makan. Kembali ke penginapan. Setelah nongkrong di resepsionis, kembali ke kamar untuk mempersiapkan pergi ke Kampung Tanjung Riuh, Kecamatan Sekupang, untuk mewawancarai Pak Saptono, seniman Pulau Batam.
Kami check out dari hotel. Naik taksi ke arah rumah Pak Saptono. Memandang kembali Batam yang dibabat oleh kerakusan manusia. Sesampai di tujuan, Pak Saptono belum datang. Di depan rumahnya ada pelataran luas, serta panggung terbuka untuk pertunjukan.
Tak lama kemudian Pak Saptono datang. Dipersilakan masuk. Duduk, ngobrol. Diberi otak-otak ikan. Enak. Dalam pembukaan obrolan Pak Saptono sempat bercerita tentang seni menurut persepsinya. Menurutnya seni bukan untuk seni. Seni adalah untuk sosial dan ekonomi. Ia juga bercerita tentang kiprahnya di dunia seni. Ia mengelola beberapa kelompok kesenian Melayu. Pertunjukan sering dilakukan di pelataran rumah. Biasanya ada pesanan, baik dari pemerintah setempat atau perusahaan travel, agar mempertunjukan sesuatu untuk para turis, terutama yang datang dari Singapura dan Malaysia. Dalam wawancara tidak secara langsung ditanya tentang identitas propinsi, tapi dari kata-kata yang dilontarkannya tertangkap kesan bahwa hal tersebut bukan lagi masalah bagi suku Melayu, baik di Pekan Baru, Karimun, Belakangpadang, atau Batam. Identitas propinsi berarti Melayu. Kesenian apapun tidak masalah, asal dari etnik melayu. Yang menjadi masalah adalah “kesempatan”. Menurut Pak Saptono, Pekanbaru tidak memberi kesempatan kepada daerah-daerah lain untuk tampil di luar negeri. Bila ada undangan untuk tampil di luar, pasti yang selalu pergi adalah seniman-seniman yang ada di Pekanbaru. Pak Saptono berharap bahwa Propinsi Kepri segera terwujud, sebab dalam logikanya jika itu terwujud berarti hal-hal curang serupa itu tak muncul lagi.
Setelah selesai mewawancarai Pak Saptono kami pergi ke Belakangpadang. Naik perahu pancung, peraghu kecil yang diberi motor, kira-kira 10 menit. Agak ngeri juga. Ada riak-riak yang cukup membuat perahu oleng. Sesampai di Belakangpadang kami menginap di penginapan Budi Penolong Inn. Tak ada kamar yang 2 tempat tidur. Terpaksa harus satu orang satu kamar. Harganya Rp. 60.000. Langsung masuk kamar masing-masing.
Kira-kira seperempat jam kami beristirahat. Pergi ke pasar untuk makan. Sebelumnya keliling pasar untuk mencari tempat yang cocok. Pasar ada di atas laut paling pinggir. Disangga kayu atau beton. Persis rumah-rumah penduduk. Kami makan ikan selar. Pak Tamat cerita tentang pemilik penginapan, bahwa ia adalah seorang Melayu yang merajuk, melayu yang kalah. Dulu dia informan Pak Tamat. Namun tampaknya sekarang ia malas bercerita tentang kesenian Melayu.
Di warung orang-orang bercerita tentang rencana kunjungan Akbar Tanjung sebagai Ketua Umum Partai Golkar, ke Belakangpadang, pada pukul 14.00 hari ini. Pemilik warung mengatakan buat apa Akbar disambut, dia terlibat Buloggate. “Ah, kita orang kecil selalu ditipu”, katanya. Seorang perempuan menyeltuk bahwa kalau ngomong demikian berarti bukan orang kecil. Orang kecil semestinya diam. Aku dan Pak Tamat tersenyum mendengar perdebatan kecil tersebut.
Aku usul ke Pak Tamat, bagaimana kalau menyaksikan kunjungan Akbar Tanjung, siapa tahu ada kesenian dalam penyambutannya itu. Di dekat pantai memang ada serombongan orang berpakaian hijau-hijau dengan style adat Melayu. Tampaknya rombongan kesenian yang akan menyambut Akbar Tanjung. Pak Tamat setuju dengan usulku tersebut. Selesai makan kami kembali ke penginapan. Karena waktu penyambutan masih 1 jam kemudian, kami ngobrol sebentar dengan yang punya penginapan. Lalu kami pergi ke tempat tujuan Akbar Tanjung. Ternyata boss Golkar itu akan menyumbang uang sebesar Rp. 30.000.000 untuk pembangunan mesjid yang belum rampung. Kampanye terselubung. Turut serta dalam rombongan: Anton Sihotang, Yorris Raweay, Ismet Abdulah (Kepala Otoritas Batam).
Di tempat tersebut aku tanya kepada salah seorang anggota rombongan kesenian: “Apakah keseniannya sudah dimulai?” Di bilang:”Sudah, tadi di dermaga”. Sayang sekali. Lalu aku tanya, siapa pimpinan rombongan kesenian ini. Dia menunjuk seseorang yang ada di depan sambil menyebut namanya: “Bang Edi”. Lalu dia mendekati ketua rombongan itu, dan memperkenalkannya kepada kami.
Pak Edi bercerita tentang grup keseniannya. Nama keseniannya “Kompang”. Konon nama itu diberikan karena suara ketimplingnya berbunyi “pang”. Pak Edi sangat ramah. Dia mengatakan bahwa Kompang ikut menyambut Akbar Tanjung karena dibayar. Dia bukan simpatisan Golkar. Dia pun tahu tentang kasus Buloggate. “Apalah artinya uang tiga puluh juta”, kata dia, “Dibandingkan dengan tiga puluh dua milyar”. Kami ketawa bersama-sama. Menurut dia kesenian itu hiburan, siapa saja yang memakai silakan, asal dapat membayar”.
Setelah acara selesai kami diajak berkeliling. Seorang kawannya, Ali, diajak ikut serta. Kami nyaris mengelilingi Belakangpadang. Kemudian singgah di warung Pak Jumain, seorang pimpinan kelompok kesenian yang diberi nama “Kris Permata Sari”. Dia juga seniman pencipta menurut Edi dan Ali. Sayang sekali beliau sedang ke Malaysia. Baru pulang tanggal 10 yang akan datang.
Pak Edi berbicara tentang kesenian. Kesenian Melayu seperti Zapin, Serampang Dua Belas, dan Kompang, merupakan kesenian-kesenian yang berhak untuk eksis. Tak ada kesenian Melayu yang tertentu yang mesti dijadikan sebagai identitas propinsi, semua kesenian melayu adalah identitas propinsi. Sayang orang-orang Pekanbaru tidak pernah melirik kesenian yang ada di Belakangpadang. Setiap kesempatan tampil di TV atau luar negeri senantiasa yang muncul adalah seniman-seniman Pekanbaru. Pak Edi berharap propinsi Kepri segera terbentuk. Sebab selama ini Kepulauan Riau selalu dianaktirikan. “Padahal di sini banyak hasil bumi”, katanya menerangkan. “Tapi kami tidak pernah ditoleh. Lihat saja Akbar Tanjung, baru kali ini saja datang ke Kepuluan Riau”. Menurutnya, pembentukan propinsi yang terpisah dari Riau merupakan keinginan seluruh masyarakat Kepri.
Pak Edi dan Ali pun bercerita tentang melayu. Menurutnya tak ada suku Melayu, yang ada adalah orang Melayu. Orang Melayu itu telah bercampur baur. Pak Edi sendiri keturunan Buton dan Manado. Ali menyebutkan tiga syarat menjadi Melayu: beragama Islam, berbahasa Melayu, dan memahami kebudayaan Melayu.
Oya, sebelum lupa, Pak Saptono pernah mengatakan bahwa dalam kesenian Melayu biasanya hadir dalam berbagai peristiwa Tari Persembahan. Aku masih belum tahu bagaimana wujudnya Tari Persembahan tersebut. Pak Edi hanya bercerita bahwa Tari Persembahan itu biasanya dibawakan oleh perempuan. Ada dua lelaki, tetapi hanya sebagai pengawal. Seorang wanita membawakan sirih dan diserahkan kepada tamu. Sirih itu harus dimakan. Tari Persembahan biasanya diiringi oleh lagu Sekapur Sirih. Lama tarian sekityar 10 menit.
Setelah keliling Belakangpadang dalam sorotan matahari yang menyengat, kami pulang. Pak Edi dan Ali ke rumahnya, aku dan Pak Tamat ke penginapan. Kami janji nanti malam bertemu di langlang Laut. Ia merupakan panggung terbuka di tepi laut. Hampir setiap malam Minggu ada pertunjukan band. Pak Edi salah seorang yang mengaturnya. Dia pun menjabat sebagai Kepala Biro Pariwisata, Seni dan Budaya di KKBM alias Kekerabatan Keluarga Besar Melayu. Hampir lupa, Kompang pimpinan Pak Edi diberi nama PPST = Perhimpunan Pemuda Sri Tanjung.
Tadi malam kami menonton panggung hiburan di pantai Langlang Laut. Ada banyak kelompok band yang tampil. Pak Edi ternyata anggota kelompok band “Legendaris”. Kelompok itu diisi oleh para pemain setengah baya, malah ada orang tua yang menjadi penyanyinya.
Saya agak terkejut juga: mengapa di pulau sekecil Belakangpadang begitu banyak kelompok band. Belakangpadang merupakan pulau yang luasnya kira-kira 4.202,61 hektar. Penghuninya sekitar 18.761 jiwa. Ditempuh dari Batam selama sepuluh menit. Jaraknya hanya 10 mil dari Singapura. KKBM konon akan mengadakan festival band di bulan Juli. Menurut asumsi Pak Tamat boleh jadi bahwa mereka mempersiapkan diri untuk menjadi pekerja di kapal-kapal laut. Sebab jika memiliki kelebihan seperti bermain musik, ia akan menguntungkan.
Suasana di pantai malam itu cukup ramai. Muda-mudi saling berkasih-kasihan. Ibu-ibu, bapak-bapak, dan anak-anak, berbondong-bondong menuju ke tempat itu. Menurut Pak Edi kadang-kadang seminggu sekali atau paling lama dua minggu sekali di adakan hiburan di panggung terbuka tersebut. Jam sepluh malam kami pulang untuk istirahat.
Aku bangun ketika adzan subuh berkumandang. Di kamar sangat dingin. AC tak bisa dikecilkan. Ya, kumatikan saja, daripada asmaku kambuh.
Setelah mandi, kami pergi minum kopi. Di restoran Cina kami memesan Roti Cane, sejenis martabak telor yang diberi gulai padang dengan sedikit daging ayam dan kentang. Enak. Setelah itu mencari Pak Gering di pasar, orang yang konon pernah menghidupkan Kuda Kepang di Belakangpadang. Tapi Pak Gering hari ini tidak dagang. Kami ke rumahnya setalah tanya sana-sini alamatnya. Dia tinggal di kampung Bugis. Kami pergi ke sana dengan jalan kaki. Rumah Pak Gering berada di atas tanah, bukan di atas laut seperti rumah-rumah yang lainnya. Tampaknya tanah mahal di Belakangpadang. Mereka umumnya membangun rumah di laut bagian tepi dengan disangga kayu atau beton. Laut-laut bagian tepi dikavling, dan bisa diperjualbelikan.
Pak Gering tak ada di rumah. Kata isterinya baru saja pergi ke pasar. Kami kembali lagi ke pasar. Pak Tamat mencari jalan alternatif. Kami kesasar. Setelah tanya kanan-kiri, akhirnya kami bisa kembali ke pasar. Pak Gering tak juga bisa ditemui. Kantor KKBM juga tutup. Tadinya ingin bertanya sekitar organisasi itu, serta kiprahnya dalam mengembangkan kesenian Melayu. Aku beli vcd lagu-lagu Melayu. Kemudian ke tempat pelelangan ikan. Banyak ikan segar di sana. Tapi mengapa makan ikan di Kepri ini mahal? Aku pikir karena menyesuaikan diri dengan harga di Malaysia atau Singapura. Selanjutnya menuju “pelantar”, tempat mangkal perahu pancung yang menuju Samba. Samba adalah pulau kecil yang menjadi instalasi penampungan BBM untuk diekspor ke luar negeri. Menurut Pak Tamat instalasi itu dibangun oleh Belanda. Di pelantar kami duduk. Tampak di kejauhan Singapura dengan gedung-gedung bertingkat. Sungguh ironis, di sana penuh dengan kegagahan, di Belakangpadang penuh dengan keterbelakangnan. Kemarin malam seorang isteri “seaman” cerita kepada kami. Suaminya bekerja di kapal. Setiap bulan dia mengambil “salaris” ke Singapura. “Belakangpadang nih bukan untuk cari duit. Tapi untuk tidur dan makan, untuk menghabiskan duit”, katanya.
Kami kembali ke penginapan. Bila memungkinkan nanti siang kembali akan ke KKBM dan Pak Gering.
Tanggal 9 Jnui 2003
10 Juni 2003
Kemarin, kira-kira pukul 17.00, kami pergi ke Bukit Caro untuk menemui Pak Masnur, pegawai dinas pariwisata, yang akan mengantarkan kami menemui pak Raja Muhamad Husen, seorang pimpinan kelompok Sutra Emas, yakni kelompok musik tradisional Beredah dan Asrakal. Beredah merupakan jenis musik serupa shalawatan yang diiringi alat tepuk bebane, sejenis kendang atau kitimpling, dalam berbagai ukuran. Cara bermain sambil duduk, dan dimainkan oleh 15-20 orang. Lagu-lagunya diambil dari berzanzi. Dimainkan pada pesta perkawinan. Biasanya dar pukul 21.00-5.00 pagi. Lagu-lagu dalam beredah dinamakan adi (bab). Dalam satu adi bisa terdiri dari 1 sampai 14 lagu.
Konon beredah dan asrakal sudah ada sejak zaman Nabi Muhamad. Ia disajikan ketika Nabi hijrah dari Mekkah ke Madinah. Malah menurut kepercayaan orang Melayu (Karimun), bebane pada zaman Nabi bisa menggelinding sendiri mengikuti langkah Nabi Muhamad.
Sedangkan asrakal merupakan sejenis olah vokal yang tak diiringin apa-apa (mungkin sejenis accapella). Jenis kesenian ini biasanya juga digunkan untuk pesta perkawinan atau khitanan.
Menurut Raja Muhamad Husen dan Masnur, beredah dan asrakal dari dulu hingga kini tidak terjadi perubahan-perubahan berarti. Memang ada perbedaan-perbedaan di beberapa tempat, tapi itu hanya karena ciri khas setempat saja. Perbedaan hanya terjadi pada tingkat ornamen, tapi inti pertunjukannya tetap sama.
Saat terdengar adzan magrib kami pulang. Agak lama menunggu angkot. Pak Masnur diberi uang oleh pak Tamat. Setelah angkot ada kami naik. Pak Masnur kembali ke rumahnya, aku dan Pak Tamat mencari makan di pasar malam. Pak Tamat ingin makan di tempat terbuka (dalam bahasa Melayu/Tionghoa disebut “akau”).
Setelah kenyang makan sambil berbicara tentang “ideologi” masing-masing, kami pulang. Aku ngobrol dulu di lobi penginapan. Pak Tamat tidur. Pukul sebelas aku masuk kamar untuk tidur.
Rencana hari ini: menemui pengurus Pekong atau barongsai, sebelum pergi ke Tanjungpinang.
11 Juni 2003
Kini kami telah berada di Tanjungpinang. Kemarin dari Tanjungbalai Karimun kami naik perahu ferry Dumai Express, harga tiketnya Rp. 75.000. Berangkat kira-kira pukul 12.30, sampai ke tujuan pukul 16.15. Dari pelabuan kami langsung menuju Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisi Tanjungpinang, Jalan Pramuka Nomor 7 Tanjungpinang. Tak ada orang di sana. Pak Tamat mencari orang, tapi tak satu pun bisa ditemuinya. Ia tampaknya telah akrab dengan gedung yang arsitekturnya cukup indah ini. Tak lama kemudian Pak Tamat menemui aku lagi untuk memberitahukan bahwa ada ruang yang tidak terkunci. Kami masuk. Di ruang itu dua tempat tidur, ber-AC. Lalu kami bereskan ruangannya. Aku kena setrum ketika akan menyalakan lampu.
Setelah selesai mandi ada orang datang. Pak Tamat telah mengenalnya. Aku berkenalan. Ternyata di ruang sebelah kami ada tamu dari Jakarta. Bangunan dimana kami tidur tampaknya dimaksudkan sebagai guesshouse. Ia terpisah dari bangunan utama di depan sebelah kanan.
Setelah mereka pergi, kami menikmati Tanjungpinang di waktu malam. Pak Tamat menjadi guide, menunjukkan “ini” dan “itu” kepadaku. Kota Tanjungpinang kecil, tapi tertata rapi. Barang-barang harganya mahal, sama seperti di Batam atau Pulau Karimun. Kepulauan Riau tampaknya sedang berbenah menjadi propinsi, dan tempat pariwisata yang nyaman, terutama bagi wisatawan-wisatawan dari Singapura dan Malaysia. Agak cape juga keliling Tangjungpinang. Kami pulang dan aku langsung tidur.
Oya, kemarin sebelum kami ke Tanjungpinang, kami sempat menemui Pak Suryomantri, 60 tahun, ketua Yayasan Vidia Sasana, etnik Tionghoa. Dia yang mengurus salah satu kelenteng di Karimun. Selain itu, dia pun mengurus salah satu grup barongsai.
Menurutnya, barongsai baru dihidupkan lagi pada zaman reformasi. Pada masa Orde Lama sempat hidup dengan meriah, namun ketika Orde Baru berkuasa, kebudayaan Tionghoa, termasuk barongsai, dilarang untuk tampil. Karena baru dihidupkan lagi setelah tiga puluh dua tahun lamanya, peralatan-peralatan harus dibeli lagi. Simbal, tambur, dan peralatan lainnya dibeli dari Malaysia dan Singapura. Begitu pula dengan barongsainya. Guru yang melatih didatangkan dari Semarang dan Padang. Sedangkan para pemainnya adalah siswa-siswa SLTA Yayasan Vidia Sasana.
Penampilan barongsai umumnya hanya satu jam. Dia dimainkan untuk kepentingan berbagai macam, seperti hari Waisak, Imlek, hari besar Agustus-an, bahkan perkawinan atau peresmian suatu gedung atau perusahaan. Barongsai asuhannya juga bersedia ditampilkan dalam acara-acara pribumi bila memang diminta, seperti hari Lebaran atau yang lainnya. Barongsai dipercaya bisa menolak bala, dan sebagai upaya permintaan keselamatan bersama. Di Karimun umumnya kelenteng digunakan oleh tiga agama: Buddha, Konghucu, dan Tao. Istilah ketiga agama itu disebut Tridharma. Pelaksanaan barongsai pada hari-hari besar keagamaan didanai oleh Yayasan dan sumbangan dari masyarakat.
Menurut Pak Oki, demikian panggilan akrab Pak Suryomantri, di Karimun ada dua rombongan barongsai, yakni di Tanjungbalai dan Meral. Selain barongsai, tak ada lagi kesenian Tionghoa yang berkembang. Biasanya pertunjukan barongsai diawali oleh sikap hormat kepada tiga sasaran: Kepada Tuhan Yang Mahaesa, kepada Dewa-dewa, dan para tamu. Setelah itu atraksi barongsai sebagai inti perunjukan, dan akhirnya hormat lagi untuk tiga sasaran tersebut.
Di dalam barongsai perbedaan-perbedaan satu grup dengan grup yang lainnya biasanya terdapat pada variasi atraksi atau gerakan-gerakan yang ditampilkan. Berbeda karena setiap guru yang melatihnya memiliki ciri khasnya masing-masing. Jadi perbedaan tersebut disebabkan perbedaan guru yang melatihnya.
Hari ini aku bangun sekitar pukul 7. Kemudian mencuci kaos tiga potong. Pak Tamat membeli ember setelah jalan-jalan pagi. Rencana hari ini akan mewawancarai beberapa seniman yang telah dilist oleh Pak Tamat.
***
Selesai mencuci pakaian, kami makan roti cange+minum kopi di pasar. Harganya mahal, Rp. 21.000. Kemudian menyewa mobil seharga Rp. 60 ribu untuk pergi ke Kampung Baru Keke, menemui keluarga Tengku Muhamad Atan Rahman (alm.), seorang penggerak Makyong di Tanjungpinang.
Perjalanan ke arah sana menghabiskan waktu kira-kira ½ jam dalam kecepatan yang agak tinggi. Rumahnya sederhana. Ada dua perempuan tua; kata pak Tamat mereka adalah isteri tertua dan muda Pak Atan. Tinggal serumah. Lucu juga. Apalagi Pak Atan sudah meninggal. Anaknya yang lelaki yang kini meneruskan jejak ayahnya bernama Tengku Muhamad Sabar. Menurutnya bapaknya berpesan dalam mimpi bahwa dia harus meneruskan kepemimpinan Makyong.
Pak Atan meninggal pada tanggal 30 Mei 2003 (ia lahir pada tanggal 1-1-1936 di Singapura seperti yang tertera di artu SIM miliknya). Sebelum meninggal, menurut isteri mudanya, ia ingin terlebih dulu menabuh gendang Makyong dan isteri mudanya disuruh menyanyi.
Teater Makyong Pak Atan tidak diberi nama. Namun untuk kepentingan administrasi, ketika mengikuti tradisi lisan di Jakarta pada tahun 1995, diberi nama Teater Makyong Sabda Puri Bintan Timur Kepulauan Riau.
Para pemain Makyong pak Atan umumnya masih famili. Tapi sekarang, menurut pengakuan Pak Sabar, susah mencari pemain anak muda lelaki.biasanya mereka tidak mau jika diajak terlibat di dalamnya. Anak-anak muda lebih suka bekerja di sekitar Kepulauan Riau. Oleh karena kesulitan tersebut, kadang-kadang Makyong Pak Atan bergabung dengan makyong Pak Kalit, kelompok Makyong di desa tetangga yang terdekat, bila diminta main di suatu tempat.
Latihan Makyong biasanya hanya satu minggu atau 2 minggu sebelum berpentas. Namun pernah pula latihan selama 3 bulan. Hal itu dilakukan bila akan main di tempat yang jauh dan bergengsi, seperti di Jakarta. “Agar hasilnya bagus”, kata Pak Sabar.
Pak Sabar sebetulnya tidak menyangka bahwa bapaknya akan meninggal pada saat itu. Katanya sehari-hari bapaknya terlihat sehat. Oleh karena sangkaannnya itu, ia tidak berpikir untuk secepatnya minta diajarkan “ilmu dalam” makyong kepada bapaknya. Ia sangat menyesal mengapa dirinya tidak minta diajarkan ilmu Buka Tanah, semacam doa pembuka untuk meminta izin kepada Tuhan yang Mahakuasa, atau penghuni tempat setempat.
Setelah selesai berbincang dengan keluarga Pak Atan, kami kembali ke Tanjungpinang. Mobil berhenti di pasar. Lalu kami makan. Kembali lagi ke Balai Kajian untuk menyusun jadwal/strategi selanjutnya.
Tanggal 12 Juni 2003
Setelah selesai istirahat, kemarin pukul 17.00, kami pergi ke rumah Hoenizarhood, sering dipanggil Bang Nizar, ketua Dewan Kesenian Kabupaten Tanjungpinang. Pak Tamat lupa jalan menuju rumahnya. Kami nyaris kesasar. Untung Bang Nizar menyuruh seorang anggota sanggarnya untuk menjemput kami di jalan.
Penampilan Bang Nizar nyeniman. Dia dikenal sebagai penyair Kepulauan Riau. Di rumahnya yang cukup luas ada peralatan band. Ketika kami datang sedang ada latihan tari, dan berserakan di lantai kaos yang tampaknya baru saja disablon. Rumahnya itu berfungsi juga sebagai sanggar, namanya “Sanggam”, kata Melayu lama yang berarti “kuat, hebat, bagus”.
Menurut Bang Nizar, di tempatnya itu ditampung berbagai seniman dari berbagai bidang, seperti musik, tari, teater, dan sastra. Selain berekspresi, para seniman pun dipekerjakan sesuai dengan keahliannya masing-masing: ada yang menjadi tukang las, tukang sablon, pemain organ tunggal, tukang lampu, sound system, dan sebagainya. “Sebelum berkesenian, paling tidak kebutuhan mendasarnya mesti dipenuhi terlebih dulu”, demikian kira-kira ungkapnya saat menerangkan mengapa hal itu dilakukan olehnya.
Keiatan kesenian di Sanggam bisa dikategorikan invented, atau mungkin lebih tepat recreated, sebab Bang Nizar mengakuinya bahwa titik tolak keseniannya adalah tradisi. Ia tidak menyukai kata “melestarikan”, tapi ia lebih suka memakai kata “mengembangkan”. Jika kesenian ingin hidup, maka ia harus menyesuaikan diri dengan perkembangan-perkembangan zaman, kira-kira begitulah ungkapnya.
Ketika ditanya tentang makna tradisi, ia menjelaskan bahwa tradisi adalah sesuatu yang tumbuh dari masyarakat, dan dengan demikian mencerminkan kehidupan masyarakat bersangkutan. Jika seni itu disebut tradisi, maka semestinya seni itu menampakkan kenyataan masyarakat yang menjadi latarbelakangnya. Seni yang dikembangkannya mungkin belum menjadi tradisi. Tapi jika terus disosialisasikan, bisa jadi kemudian ia diklaim sebagai tradisi oleh masyarakat. “Saya telah merekam beberapa karya seniman Sanggam dalam bentuk VCD. Saya telah membagikannya kepada masyarakat sebagai upaya sosialisasi”, akunya.
Di sanggarnya dibuka pula kursus tariuntuk anak-anak. Setiap semester ada pertunjukan sebagai evaluasi dari hasil belajar mereka. Pelatih tarinya adalah Peppy Chandra, seorang koreografer yang kini menjadi isterinya. Dalam periode-periode tertentu Bang Nizar pun melaksanakan pertunjukan “ekspresi”, artinya pertunjukan yang bukan pesanan orang lain, tapi sebagai kebutuhan ekspresi semata.
Di Sanggam pertunjukan-pertunjukan yang diselenggarakan biasanya berdasarkan pesanan pihak tertentu, seperti institusi pemerintah. Kini Sanggam telah enam tahun. Selain menerima orderan sablon, panggilan band, organ tunggal, tari, di sanggar ini menerima pula penyewaan sound system dan peralatan band.
***
Hari ini, tanggal 12 Juni 2003, kami pergi ke Penyengat. Naik pompong, sejenis perahu kecil yang diberi mesin (di Batam disebut pancung). Ongkos ke sana sebetulnya seribu, tapi berhubung kami tamu, ongkosnya menjadi dua ribu rupiah.
Penyengat adalah sebuah pulau kecil yang luasnya tidak lebih dari 3,50 KM, berada di sebelah barat Tanjungpinang, dan berjarak kira-kira 1,5 KM dari ibukota Kepri tersebut. Jumlah penduduknya menurut sensus 1989 sekitar 2026 jiwa; konon masyarakat penyengat berasal dari Bugis, tapi sekarang telah berbaur dengan suku-suku lainnya, seperti Jawa dan Padang, dan kini mereka menyebut dirinya sebagai suku Melayu.
Di Penyengat menurutku banyak misteri. Artinya, meskipun pulau tersebut sangat kecil, tapi banyak hal yang belum terungkap. Dulu Penyengat menjadi pusat pemerintahan kerajaan Riau yang diberi nama “Pulau Penyengat Indera Sakti”. Kata “penyengat” konon diambil ketika para pelaut yang sedang mengambil air bersih di tempat itu disengat semacam lebah yang dipanggil “penyengat” hingga membawa korban bagi rekan-rekan pelaut itu. (Tentang Penyengat, ada dalam buku “Peninggalan-peninggalan Sejarah di Pulau Penyengat” susunan R. Hamzah Yunus yang diterbitkan oleh pemerintahan setempat).
Di Penyengat kami menemui keluarga Mahmud Hasan, pengerak Gazal. Pak Mahmud sakit. Ia terkena stroke. Tapi ia bisa menerima kami dengan didampingi isterinya, Ibu Raja Chadidjah. Ia tidak bisa berbicara secara “normal”. Isterinya itu penyanyi Gazal.
Keluarga Mahmud boleh dikatakan sebagai keluarga seniman. Ibu, Bapak, dan seorang anaknya terlibat dalam kesenian. Sebelum terjun menekuni Gazal Pak Mahmud adalah pemimpin sebuah kelompok band, dan Chadidjah sebagai penyanyinya. Keterlibatan dengan Gazal diawali oleh tawaran Pak Murwanto, Bupati Tanjungpinang saat itu, untuk memainkan seni tradisi Melayu, dengan diberi peralatannya. Pak Mahmud menyanggupinya; karena isterinya berasal dari keluarga seniman Melayu juga, maka ketika harus menyanyikan Gazal, ia sudah tidak mengalami kesulitan yang berarti, tinggal memoles di sana-sini saja.
Setelah kini Pak Mahmud sudah tidak sanggup lagi memimpin grup gazal, hanya dia dan anak lelakinya saja, Azmi, yang meneruskannya. Kata Ibu Chadidjah sekarang sulit mencari penyanyi gazal perempuan. Anaknya yang perempuan dulu pernah ikut menyanyi gazal, tapi setelah menjadi seorang isteri polisi, hidupnya diserahkan untuk melayani suaminya tersebut. Ia mengatakan bahwa untuk melakukan kaderisasi sulit. Banyak penyanyi di pulau Penyengat, tapi umumnya penyanyi dangdut atau pop tahun 60-an. Ketika mereka disuruh menyanyi gazal, mereka tidak bisa. Gazal memiliki cengkok yang khas, yang sulit untuk diikuti. Sebetulnya Ibu Chadidjah ingin melakukan kaderisasi penyanyi gazan dari anak SD, tapi umumnya ibu anak-anak yang akan diajari menyanyi gazal melarangnya, karena dianggap mengganggu sekolah.
Azmi adalah satu-satunya anak pak Mahmud yang mengikuti jejak ayahnya. Menurut ibu Chadidjah anak tersebut memiliki bakat seni yang luar biasa. Ia bisa memainkan berbagai alat. Pada waktu kecil anak itu tertimpa buah kelapa, dan pingsan selama enam hari. Saat sadar ibunya sedang melahirkan adik Azmi. Mungkin karena peristiwa itu, demikian ibu Chadidjah menuturkan, anaknya jadi pintar.
Ibu Chadidjah memiliki pandangan tentang Melayu, yakni bahwa suku Melayu itu telah bercampubaur dengan suku Jawa, Padang, Bugis, atau yang lainnya. Penggolongan-penggolongan suku berdasarkan tempatnya berasal sudah tidak relevan lagi. Mereka semua telah luluh menjadi suku Melayu.
Kembali mengenai soal Gazal Pak Mahmud, umumnya tampil berdasarkan permintaan keluarga yang akan melaksanakan upacara perkawinan. Tapi kadang-kadang tampil dalam acara-acara yang diselenggarakan PEMDA. Kata Ibu Chadidjah, jika yang meminta PEMDA, ia tidak bisa menolaknya, karena pemerintah telah membantunya, terutama dalam masalah pengadaan peralatan.
Jika gazal diselenggarakan dalam perkawinan, biasanya lagu-lagu yang dibawakan tidak selalu lagu asli gazal, tapi lagu-lagu baru, sesuai dengan permintaan para tamu. Ibu Chadidjah atau Pak Mahmud tidak menciptakan lagu baru untuk gazal, karena menurutnya dalam gazal tidak boleh ada lagu baru; lagu-lagunya sudah ada sejak zaman dulu.
Dalam satu bulan, gazal Pak Mahmud bisa sampai empat kali tampil. Tapi kadang-kadang hanya satu kali saja. “Tidak tentu”, aku Ibu Chadidjah. “Tapi biasanya dalam satu bulan selalu saja ada yang meminta untuk berpentas”.
Setelah menemui keluarga Pak Mahmud, kami berkeliling di sekitar situs-situs yang ada di Pulau Penyengat. Tadi sebelum ke rumah pak Mahmud, kami sempat singgah terlebih dulu di Mejid Raya Sultan Riau. Arsitektur mesjid ini sangat indah. Ia memiliki 17 menara dan kubah, sesuai dengan jumlah rakaat solah wajib umat Islam dalam sehari semalam. Di dalam mesjid itu ada 4 buah beton menyangga, mimbar ukiran kayu, lemari kayu dengan kaligrafi yang indah. Konon adonan tembok mesjid tersebut diberi putih telor saat membuatnya.
Selain mesjid, bangunan-bangunan dengan arsitektur yang dibuat dengan selera seni yang tinggi cukup banyak di pulau Penyenat yang kecil itu. Ada komplek Istana Marhum Kantor, komplek Gedung Engku Bilik, Makam Raja Ali (Marhum Kantor) dan Raja Jakfar, Makam Embung Fatimah, dan Makam Haji Fisabillah. Semuanya nyaris tak terpelihara. Sebetulnya komplek Istana Markum Kantor dan Gedung Engku Bilik bisa dimanfaatkan sebagai kantor kecamatan atau yang lainnya, agar ia bisa terpelihara. Tapi tampaknya tidak. Ia dibiarkan terlantar. Mungkin karena gedung-gedung dianggap menyeramkan, sehingga ia dibiarkan tak berpenghuni, meskipun dengan begitu ia menjadi terlihat “liar”, dan temboknya ditumbuhi lumut di sana-sini.
Setelah cukup lelah menelusuri bangunan-bangunan lama, kami menuju rumah Pak Syamsudin, tokoh kompang. Menurut Pak Tamat, pak Syamsudin sudah meninggal dunia. Ketika sampai di rumahnya, di sana tak ada siapa-siapa. Lalu kami mampir ke warung tetangganya, Ibu Nurasikin. Ternyata dia pemain dan penyanyi kompang. Namun dia tidak mau diwawancarai secara lebih jauh, karena merasa tidak memiliki wewenang untuk menjelaskan “ini” atau “itu”. Dia menyarankan agar kami menemui ibu Elok. Sebelum pergi ke ibu Elok, Ibu Nurasikin dan anaknya sempat melantunkan Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji, dan nyanyiannya itu sempat direkam oleh kami. Setelah selesai makan indomi dan berbincang dengan ibu Nurasikin, kami pergi ke rumah ibu Elok. Tapi tampaknya ia akan pergi mengaji. Akhirnya kami batalkan untuk bertemu dengannya, dan kembali ke Tanjungpinang untuk beristirahat beberapa saat, sebelum melanjutkan perjalanan ke rumah tokoh reog.
Tanggal 13 Juni 2003
Pukul 8.00. Di perpustakaan Balai Kajian. Aku membaca judul-judul buku yang berjejer di rak-rak yang masih terkunci. Aku menunjukkan beberapa buku yang aku anggap penting kepada pak Tamat. Dia bilang buku-buku itu ada di LIPI. Ya sudah, daripada membawa berat buku ke Jakarta, lebih baik pinjam saja nanti di sana.
Sebetulnya waktu itu tujuan kami yang utama adalah mencari buku yang berisi mengenai deskripsi seni-seni yang ada di Kepulauan Riau dan sekitarnya. Tapi tidak ada. Aku melihat ada hasil penelitian tentang Penyengat, sebuah pulau yang telah membuatku terpukau. Pak Tamat memfotokopinya untuk dibawa ke Jakarta.
Rencana hari ini: pertama, akan ke Kantor Dinas Pariwisata, seni dan Budaya Tanjung Pinang; kemudian, menemui tokoh reog. Ke kantor Parsenibud maksudnya untuk mencari data-data kesenian di Tanjungpinang. Tapi di perpustakaan tadi telah ketemu seorang pegawai kantor yang akan kami hubungi. tersebut. Dia bilang di kantornya tidak ada data yang kami maksudkan. Selain itu, arsipnya belum tersusun secara rapi, karena kantor itu masih berbenah dalam rangka perwujudan propinsi Kepri. Karena alasan-alasan itu kami batalkan untuk menuju ke sana.
Entah karena apa, tiba-tiba Pak Tamat memutuskan untuk menghubungi Pak Tusiran Suseno di RRI Tanjungpinang, tokoh Teater Bangsawan (di Melayu biasa disingkat Bangsawan saja), keturunan Jawa kelahiran Melayu. Bagiku tidak masalah sejauh ia layak untuk dijadikan sebagai informan.
Ternyata memang ia layak jadi informan. Ia seorang aktivis atau penggerak kesenian tradisional di Tanjungpinang. Selain sebagai penyair, kegiatannya adalah mengelola sandiwara radio, dan teater bangsawan. Tidak hanya itu, ia pun sejak tahun 1974 dikenal sebagai penyair. Prestasi yang pernah dicapainya, pernah empat kali memenangkan penulisan naskah sandiwara radio tingakt nasional. Pun pernah bergabung dengan Teater Grotta.
Tusiran Suseno lebih suka menyebut teater bangsawan sebagai drama bangsawan. Dia menceritakan tentang pengalamannya ketika melakukan pentas di kampung dan di kota. “Ada perbedaan mencolok antara pertunjukan di kampung dan di kota”, katanya. “Ada kesenjangan. Di kampung penonton begitu antusias, tapi di kota hanya satu-dua saja yang menonton pertunjukan Bangsawan”. Mengapa ini terjadi? Dia mengatakan bahwa di kota (Tanjungpinang) sedang mengalami proses transisi. Dalam masyarakat transisi seperti Tanjungpinang, Tusiran mengungkapkan, orang-orang sudah tidak mau repot-repot lagi untuk pergi ke gedung pertunjukan atau bioskop (di Tanjung Pinang tidak ada bioskop; dulu ada tapi gulung tikar karena tidak laku) untuk menonton teater atau film; selanjutnya, mereka lebih suku menonton televisi di rumah; dan terakhir segala hal yang berbentuk tradisi dalam masyarakat seperti Tanjungpinang dianggap sebagai “kampungan”.
Di Tanjungpinang seni pertunjukan lebih didominasi tari. Dalam pandangan Tusiran mungkin karena pertunjukan tari tidak repot mempertunjukannya dan relatif murah. Kalau memainkan Makyong misalnya, jika tidak memiliki uang sebesar 6-8 juta tidak akan terwujud; atau bila memainkan Bangsawan, contoh yang lain, untuk mempersiapkan layarnya saja butuh biaya banyak. Layar Bangsawan bila komplit ada 12 buah. Dulu cerita Bangsawan bisa bersambung sampai satu minggu. Untuk satu cerita Bangsawan paling sedikit harus ada 4 layar. Pada tahun 1984 satu layar ukuran 3X9 sudah satu juta seratus ribu rupiah. Belum untuk ongkos yang lainnya.
Tusiran telah beberapa kali bermain Bangsawan di kampung-kampung. Bila main di kampung panggung dibuat sendiri di tempat terbuka. Seben/sebeng/wing dibuat dari bahan triplek. Untuk mengatasi keterbatasan vokal, selain memakai mik gantung, bisanya para pemain terlebih dulu melatih vokalnya.
Drama bangsawan, begitu Tusiran, adalah bentuk drama yang paling lengkap: ada sastra, tari, musik, seni suara, dan seni rupa. Cerita yang dibawakan selalu mengenai kehidupan istana. Bangsawan adalah teater “serius”. Meskipun serius, pasti selalu dihadirkan tokoh khadam, seorang yang lucu, jenaka, pelayan raja, yang selalu membuat penonton tertawa.
Pak Tusiran pernah melakukan pengembangan mengenai teater tradisional. Dia menyebutnya sebagai Makyong Kontemporer. Bentuknya Makyong, tapi polanya Bangsawan. Dia juga sering menyelenggarakan pertunjukan Bangsawan jenaka, yakni pertunjukan Bangsawan yang lebih menonjolkan kelucuannya saja. Dalam beberapa hal ada yang dimodifikasi, misanya properti, dulu memakai keris sekarang memakai pistol mainan. Hal ini menyebabkan adanya penentangan dari tokoh-tokoh adat. Tapi tokoh-tokoh seniman teater mendukungnya.
Kondisi Bangsawan kini sedang “bernazak”, alias senen-kemis, mati segan hidup tak mau. Tak ada yang melakukannya lagi. Penyengat sebagai kiblat Teater Bangsawan kini tak lagi memiliki kelompok Teater Bangsawan. Pernah dilakukan kaderisasi melalui sekolah-sekolah. Tapi ibu-ibu tidak mengizinkan anaknya ikut serta, karena mereka melihat bahwa kegiatan itu tidak ada manfaatnya.
Menurut Tusiran guru-guru sekolah umumnya tidak menguasai kesenian tradisi Melayu. Umumnya mereka dari Minang, tak memahami kesenian Riau. Atau yang dipahaminya hanya teater modern. Maka pada tahun 1991, Tusiran bekerja sama dengan Depdiknas minta jam ke kepala sekolah untuk pelajaran teater tradisional.
Mengenai perbedaan antara Bangsawan dulu dan sekarang, Tusiran mengungkapkan bahwa berbedaan hanya terjadi dalam kemasan saja, tapi ceritanya tetap seperti dulu. Selain itu, sekarang lebih banyak humor. Tusiran pun pernah membuat beberapa naskah baru seperti “Hang Jebat Menggugat”.
Tentang identitas propinsi, menurut Tusiran Teater Bangsawan lebih cocok diangkat sebagai identitas propinsi. Tari sangat sulit untuk dijadikan sebagai trade mark Kepulauan Riau. “Lancang Kuning, Bengkalis, Serampang Dua Belas, sulit diklaim sebagai milik Kepulauan Riau, karena di mana-mana (maksudnya di tanah Melayu), semua itu ada”, ungkap Tusiran.
Sebelum lupa, menurut Tusiran, meskipun ia telah sering tampil atas nama identitas Melayu, tapi ia merasa ada perlakuan diskriminatif terhadap orang-orang keturunan Jawa di Kepri.
***
Setelah selesai wawancara dengan Tusiran, kami kembali ke Balai Kajian. Istirahat. Tidur. Semalam kurang tidur akibat mengetik laporan harian. Sedang enak-enak tidur, datang Pak Sindhu, bos Balai Kajian. Tampaknya aku pernah kenal di Padang. Mengobrol bertiga. Lalu pergi ke Kawal untuk makan. Agak jauh dari Tanjungpinang. Pulang lagi. Tidur lagi. Bangun. Pak Tamat sudah menyodorkan persoalan polarisasi. Dia melihat bahwa di Kepulauan Riau ini telah terjadi polarisasi. Ini terlihat misalnya di Akau. Sekarang Akau lebih homogen, tapi dulu lebih hetorogen. Lalu Pak Tamat bertanya: apakah hal ini berdampak pula terhadap kesenian? Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Pak Tamat itu, bahwa masyarakat Kepulauan Riau telah mengalami polarisasi. Ia telah lama meneliti di sini, sedangkan aku baru beberapa hari saja. Tapi selama penelitian, aku belum melihat ada polarisasi seperti yang dimaksudkan Pak Tamat, khususnya dalam kesenian. Jsustru di Kepulauan Riau terjadi semacam “peluluhan”. Orang-orang yang non-Riau telah menyatu, terutama genarasi ketiga atau keempat, telah menyatu, mengidentifikasikan diri sebagai “melayu”. Bugis, seperti keluarga Pak Mahmud, sudah tidak merasa lagi sebagai Bugis, tapi mengaku sebagai Melayu. Edi, Ali, dan bahkan Tusiran, semuanya yang awalnya keturunan non-Melayu, tepai kemudian mengidentifikasikan diri sebagai Melayu. Mereka telah menjadi Melayu. Hanya orang Cina yang sulit untuk menyatu. Tapi dalam eberapa kasus di Kepulauan Riau, Cina pun ada yang telah berbaur dengan orang Melayu, seperti kasus di Belakangpadang. Mungkin sulitnya Cina diterima sebagai Melayu karena mereka bukan Islam.
Jadi, bila kesenian Melayu sebagai identitas propinsi diambil dari tesa “polarisasi”, tampaknya untuk sementara perlu ditangguhkan, karena penemuan lapangan yang hanya beberapa hari itu, menunjukkan suatu gejala yang berbeda. Namun bukan berarti masalah “polarisasi” dihilangkan, namun sebagai bahan renungan perlu dimunculkan. Apalagi alasan Pak Tamat yang cukup menarik, bahwa polarisasi mungkin terjadi karena sumber alam yang mulai sudah berkurang. Begitulah Kepuluan Riau, dulu kaya dengan bouksit dan timah, kini tinggal kolong-kolongnya saja.
Kami pergi makan ke Pelabuan. Di sana ada Akau. Menurut Pak Tamat, dulu para pedagangnya beragam, tapi sekarang dikuasai oleh orang-orang Padang. Orang-orang Tionghoa berkumpul di Akau Potong Lembu, dan Jawa di Bintan Plaza. Kenyataan ini menurut Pak Tamat akibat adanya polarisasi. Mungkin saja “ya”, atau mungkin masih berupa benih, akibatnya banyak pendatang ke Kepri. Mereka bukan keturunan yang sudah beberapa generasi hidup di Kepri, tapi orang-orang baru yang masih memegang kuat tradisi kampungnya berasal.
Pukul 20.30 kami pulang. Takut tidak ada angkot. Tadinya aku mau mengetik kembali. Tapi tak ada kunci untuk membuka ruang komputer. Jadinya menulis dulu, sebelum kemudian tidur lagi......
14 Juni 2003
Hari ini ada pembagian tugas: aku mengetik, pak Tamat ke kantor BPS Tanjungpinang untuk mencari data penduduk dan jumlah grup kesenian.
Pekerjaanku tersendat-sendat, sebab pak Sindhu tak henti-hentinya mengajak ngobrol. Pukul 12.00 pak Tamat sudah datang. Katanya, data yang baru belum ada, sebentar lagi, kira-kira bulan Juli, akan terbit data tahun 2002-2003.
Pukul 14.00 aku menghentikan pekerjaanku. Pak Sindhu telah siap mengantarkan kami ke Lagoi, kota wisata, yang berada di sebelah utara pulau Bintan. Jaraknya menurut pak Sindhu kira-kira 70 Km, tapi menurutku sekitar 40-50 Km. Ditempuh dengan kecepatan mobil yang sedang kira-kira 1 jam.
Di pertengahan jalan kami berhenti sejenak untuk makan. Di situ, nama desanya kalau tidak salah Gesek, ada perkampungan Cina yang kecil. Beberapa penduduk membuka warung nasi dan minum bagi orang-orang yang kebetulan lewat jalan tersebut. Kami memesan nasi lemak, semacam nasi uduk yang diberi ikan teri, sambal dan telor rebus. Harganya relatif murah, plus minum, untuk bertiga cukup membayar Rp. 18.000.
Sesampai di Lagoi aku terpesona. Tidak menyangka di tempat yang jauh dari pusat kota Tanjungpinang tersebut ada tempat yang begitu tertata rapi. Ia pantas menyandang sebutan Kota Wisata. Konon luasnya ribuan hektar. Dikembangkan oleh Radius Prawiro dan Hartato untuk menyaingi “proyek pulau Batam Habibie”. Di dalam kawasan wisata Lagoi terdapat berbagai macam tempat (resort). Ada pasar oleh-oleh, ada vila, lapangan golf, pantai yang indah dengan pasir yang putih, dan entah ada apa lagi. Kami hanya singgah di sebagian kecilnya saja, tampaknya tak cukup sehari untuk menjelajah seluruh pelosok Lagoi.
Aku bertanya: siapa saja yang datang ke tempat terpencil ini? Pak Tamat dan pak Sindhu bilang: “Orang-orang mancanegara, terutama dari Singapura dan Malaysia”. Lewat jalur mana? Laut. Lagoi terletak di sebuah teluk pulau Bintan. Ia bisa ditempuh dengan ferry dalam waktu 20 menit dari Singapura. Ia bisa ditempuh secara langsung dari Changi, Singapura. Orang-orang asing yang mau berlibur di sana tak perlu melewati Tanjungpinang terlebih dulu. Kapal-kapal Singapura bisa langsung masuk ke arah kawasan wisata tersebut. Kami sempat menuju pelabuan Lagoi. Ia tertata rapi. Di kiri-kanan jalan ditumbuhi dengan pohon-pohon yang indah. Ada juga patung-patung binatang langka khas Indonesia, seperti komodo dan orangutan.
Saat tiba di pelabuan itu kebetulan para turis dari Singapura baru datang. Mereka tampak berwajah ceria memasuki bis-bis yang akan membawanya ke vila atau tempat-tempat lain yang tersedia di sana. Setelah itu kami menuju salah satu pantai yang dijadikan sebagai tempat bermain para turis. Memasuki daerah itu, di kiri-kanannya terdapat beberapa lapangan golf, danau buatan, dan vila. Tampaknya di setiap vila disediakan mobil kecil yang biasa digunakan oleh pemain golf. Selain untuk kepentingan golf, aku pikir mobil itu pun berfungsi sebagai alat transportasi bila para tamu ingin mengelilingi daerah tersebut.
Pantai yang kami tuju sangat indah. Saat itu masih sore, kira-kira pukul 16.00. Matahari masih menancapkan panas. Di sepanjang pesisir terlihat orang-orang sedang bersenda garau. Ada yang bermain boat, berlari-lari menyusuri pasir putih, bercanda bersimbah air laut, dan sebagainya. Kami memilih duduk di di kursi plastik panjang yang tersedia di sana sambil selonjoran. Air laut tampak biru, biru lazuardi kata pak Tamat. Pasir putihnya sangat bersih. Suara anak-anak yang bercanda bersaing dengan debur ombak yang ramah. Anak-anak siapakah? Jelas bukan anak-anak pribumi. Aku jadi teruingat Sisi. Apakah aku sanggup membawa anakku tersebut bermain ke tempat-tempat seperti ini? Ternyata memang hidup harus kaya, harus banyak uang. Sebab jika tidak, fasilitas-fasilitas semacam Lagoi tak bisa dinikmati oleh orang-miskin semacam aku. Maafkan aku, Sisi. Ayahmu tak bisa memberikan kenikmatan-kenikmatan hidup seperti orang-orang kaya menikmatinya.
Sedang asyik-asyiknya kami menikmati pemandangan sore, datang seorang satpam. Dia meminta kepada kami agar memindahkan mobil ke tempat parkir yang telah tersedia. Ya, memang pak Sindhu telah memarkir mobil di tempat yang tampaknya kurang layak, mengganggu pemandangan. Selain itu di tempat itu tak terkena pajak, tentu saja.
Karena hari telah sore sekalian saja kami pulang. Sekitar pukul 18.00 kamu tiba di Tanjungpinang. Tidak langsung pulang ke Balai Kajian, tapi menuju Akau. Makan ikan bakar. Lahap. Mungkin karena cape. Setelah kenyang, pulang. Sebelum tidur, aku sempat ngobrol dulu dengan pak Sindhu tentang segala macam di rumah dinasnya. Bermain-main dengan anjing pak Sindhu yang masih kecil. Beberapa saat kemudian kantuk menyerang. Oleh karena itu, setiba di kamar aku langsung membaringkan tubuhku di ranjang.
15 Juni 2003
Pagi-pagi pukul 6.00 pak Tamat telah mengajakku ke pasar. Setelah makan roti bakar dan minum kopi, kami pergi ke plantar 2, tempat mangkal perahu-perahu yang mengangkut dan membawa barang bagi kepentingan pasar. Tempatnya kotor. Maklum pasar. Sampah dibiarkan membusuk di sepanjang tepi laut yang airnya terlihat hitam. Pak Tamat menunjuk ke seberang. Aku sebuah pulau yang tampak tidak terlalu jauh dari tempat kami berdiri. Menurut pak Tamat pulau itu bernama Senggarong, sebuah kampung Cina. Di kejauhan di pulau tersebut terlihat berdiri sebuah kerangka bangunan. Pak Tamat menerangkan bahwa kerangka itu untuk kantor walikota. “Kantor walikota di tengah-tengah pemukiman warga Tionghoa, menarik bukan Bung?”. Kata Pak Tamat. “Mungkin walikota itu telah membaca sejarah”. Aku tidak terlalu paham dengan ucapan pak Tamat, apa maksudnya dengan sejarah.
Agak siang kami pulang. Sambil pulang pak Tamat mencari arak putih untuk masak. Tapi tak menemukannya. Jam sepuluh telah sampai di Balai Kajian. Pak Sindhu sejak menyiram tanaman. Ia bercerita tentang walikota. Konon walikota Tanjungpinang itu seorang perempuan keturunan Tionghoa yang diurus oleh warga Melayu. Orang Melayu memiliki kebanggaan tersendiri bila memungut anak-anak Tionghoa.
Setelah itu aku menyelesaikan ketikan. Hari ini kami berencana untuk kembali ke pulau Batam. Jika memungkinkan besok akan pulang ke Jakarta. Ketika selesai kira-kira pukul 11.00. Ikut print out di kantor pak Sindhu. Pak Sindhu memberikan beberapa buku pada kami. Selesai nge-print, beres-beres barang, dan akhirnya pamitan ke pak Sindhu untuk ulang ke Jakarta.
Pukul 2.00 tiba di Batam, setelah sekitar satu jam dari pelabuan Sri Bintan Puri Tanjungpinang melakukan perjalanan dengan memakai kapal ferry Baruna. Naik taksi omperang. Harganya Rp 7000 per orang. Tiba di penginapan Wisma Tanjung. Masuk kamar. Beberapa saat kemudian pergi ke pusat perbenajaan untuk mencari oleh-oleh bagi keluarga masing-masing. Pak Tamat membeli makanan/asinan buatan Cina yang tidak ada di Jakarta. Aku pun berpikir, boleh juga membeli beberapa bungkus untuk Sisi, sebab ternyata harganya relatif murah. Setelah itu Pak Tamat membeli emergency lamp merek National buatan Jepang. “Bagus”, katanya. “Saya dulu membelinya satu”.
Kembali ke penginapan. Istirahat sebentar. Malam ini rencana akan pergi ke Radio Hang, sebuah stasiun radio yang khusus menyelenggarakan acara seni budaya Melayu. Diantar oleh supir taksi kenalan pak Tamat kami pergi ke tempat itu. Di sana kami bertemu dengan programmernya, Gess Yahya, berasal dari Ternate, lama di Bogor, dan sekarang tinggal di Batam. Lalu kami mewawancarainya, dan inilah hasilnya:
Menurutnya Hang merupakan radio pertama yang berbasis kebudayaan Melayu di Riau. Jangkauannya Sijori (Singapura, Johor, dan Riau). Mengapa memilih itu? Dari segi ekonomi menguntungkan. Juga untuk mengembangkan seni dan budaya Melayu. Hang merupakan radio yang paling bontot di Batam. Ia baru enam bulan mengudara (mulainya tanggal 17 Januari 2003). Karena berbasis Melayu satu-satunya, meskipun masih baru, ia telah banyak dikenal oleh publik. 1 Juni yang lalu mengadakan test case dengan membuat acara “juma fans”. Orang yang datang diprediksi sekitar 500 orang. Ternyata dihadiri oleh lebih dari seribu orang. Dalam acara itu diundang juga para pejabat setempat, lembaga adat Melayu, KKBM, serta seluruh unsur masyarakat.
Segmen pasar Hang adalah orang dewasa. Tapi meskipun begitu, disediakan juga acara-acara untuk anak muda. Acara on air biasanya banyak diakses oleh anak-anak muda. Anak muda bukan target khusus. Ketika ada anak muda mendengarkan Hang, itu dianggap sebagai bonus.
Mengenai acara yang berbau seni budaya Melayu, ada acara yang diberi nama “Bilik Melayu”, acara life. Menampilkan gurindam, pantung, tari, bahkan budaya tradisional yang telah dilupakan, seperti “Lukah”, sebutan untuk sejenis bubu yang diisi oleh doa-doa. Di Indonesia Timur disebut bambu gila.
Seni-seni pertunjukan yang ditampilkan Hang FM biasanya dilaksanakan secara life, dengan mengundang orang untuk menontonnya. Acara dilaksanakan di studio. Studio Hang cukup besar. Jadi bisa menampung banyak orang. Selain bisa ditonton secara langsung, acara tersebut disiarkan melalui udara. Orang-orang yang menonton tidak dipungut biaya. Biasanya acara-acara seni pertunjukan terlaksana karena bekerjasama dengan para seniman Batam.
Bila akan menampilkan adat-adat Melayu secara life, para penata acara Hang selalu berembuk dengan para tokoh adat. Di Hang para penyiarnya umumnya bukan dari suku Melayu. Tapi mereka berusaha secara bertahap mempelajari budaya Melayu.
Acara Melayu lainnya adalah “Dendang Sayang”, diambil dari judul salah satu jenis lagu yang sudah jarang dinyanyikan. Selain itu, Hang juga pernah menyelenggarakan Gurindam Syair, Kompang, Dangkung, Gazal, dan Zapin. Hang juga sedang melakukan proses pembuatan sandiwara radio yang berbasis Makyong dan Teater Bangsawan. Penulis naskahnya adalah seniman-seniman Batam, seperti Samsong Rambah Pasir dan Basid.
Hang berusaha untuk mengundang seniman Melayu di manapun berada. Tapi untuk sementara, seniman yang diundang untuk mengisi acara masih orang-orang yang ada di Batam dan Belakangpadang.
Pendengarnya pun banyak pula dari etnik-etnik yang lain: orang-orang Flores, Ambon, Jawa, Minang, dan sebagainya.
Nama Hang diambil dari bahasa Melayu. Yang berarti panglima. Ada Hang Tuah, Hang Nadim, atau Hang Jebat. Semangat-semangat mereka diupayakan untuk senantiasa hadir di Hang FM.
Di Singapura, para pendengar Hang mendirikan “fans club”. Beberapa penyiar diundang ke sana saat fans club tersebut diresmikan.
16 Juni 2003
Setelah mandi makan di KFC. Baca koran. Pukul 10 taksi datang untuk mengantar kami ke Bandara Hang Nadim. Pulang memakai pesawat boeing 737-200 Jatayu. Pesawatnya jelek. Di udara kusaksikan gumpalan asap dari hutan riau. Pesawat bergetar. Aku agak takut juga. Sampai di Jakarta kira-kira pukul 13.00. Tadinya aku akan naik DAMRI ke Bogor bersama pak Tamat. Tapi setelah kupikir lebih baik dari Gambir, sebab begitu turun dari kereta api, aku bisa langsung pulang naik angkot jurusan Gedebage, jadi aku ke Gambir saja. Di Gambir naik kereta api sekitar pukul 2.45. Sampai di Bandung pukul 18.30. Kira-kira pukul 20.00 sampailah di rumah.